|  Karya ini juga seakan   menjadi penegasan identitas  punker sejati.,contoh ini dapat   dijadikan acuan untuk menganalisa kondisi dunia kekinian. 
 Melihat punker mengumandangkan azan dalam balutan pakaian dan gaya   rambut punk bagi saya merujuk ke arah-arah yang saling bertentangan. Arah   pertama dari fanzine ini adalah kesengajaan untuk membalikkan pemahaman   tradisional muslim tentang cara berpakaian seorang muazin. seseorang seakan   ingin menegaskan bahwa ciri-ciri berpakaian seseorang tidak lantas   melekatkannya dengan ideologi atau kelompok tertentu. Anak punk yang menjadi   muazin bisa jadi merupakan
  suatu kontradiksi, sebab dalam keyakinan Islam   tradisional, Bilal adalah seorang yang berpakaian baik, dalam arti tidak serampangan,   apalagi dengan rambut bergaya jengger ayam.
 Dalam sejarah Islam, Bilal merupakan muazin pertama yang menciptakan lirik   panggilan bagi kaum muslim untuk sembahyang. Bilal hadir menawarkan suara   manusia sebagai panggilan sembahyang kaum muslim untuk membedakan   panggilan-panggilan beribadah yang sudah dilakukan oleh pengikut agama lain   seperti dengan lonceng untuk gereja kaum Kristen. Pada saat berdebat mengenai   panggilan sembahyang, salah seorang pengikut mengusulkan suara tambur, namun   usulan itu langsung ditentang oleh Hamzah, pengikut setia dan juga salah satu   paman nabi Islam, karena suara tersebut begitu identik dengan darah dan   perang. Suara manusia sebagai bentuk panggilan sembahyang kaum muslim, dalam   konteks itu, menjadi sebuah panggilan bagi perdamaian. Sejak Bilal   mengumandangkan azan, sejak itu pula azan ditetapkan sebagai panggilan khas   bagi kaum muslim untuk melakukan ibadahnya. Lirik-lirik azan sendiri tidaklah   sesuatu yang sudah dipersiapkan sebelumnya, melainkan hadir saat itu dan digunakan   sampai sekarang. Jika Bilal diidentikkan dengan anak lelaki berpeci yang   santun dan memiliki suara indah dalam pemahaman Islam tradisional, maka dalam   gambar ini, Bilal menjadi seorang anak muda bergaya pakaian bebas dan   cenderung menentang pemahaman-pemahaman konvensional.
 Arah kedua adalah keselarasan kontekstual antara identitas punk dan identitas   keagamaan kontemporer. Bilal versi punk bisa dikatakan sangat selaras dengan   kondisi pemahaman keislaman di dunia sekarang ini. Di masa kelahirannya, ideologi   punk merupakan sistem pemikiran distingtif yang berhubungan dengan subkultur   punk di akhir 1970an. Awalnya punk merupakan sebuah gerakan kekecewaan,   pemberontakan dan ketidakpuasan, kemudian berkembang menjadi gerakan   sosial-politik. Kelompok musik seperti Black Flag, Dead Kennedys, Bad   Religion, Anti-Flag, Conflict, The Blood dan Subhumans cukup   banyak memberi kontribusi pada iklim ideologis ini. Ketidakpuasan terhadap   sistem dan tawaran solusi pada masalah-masalah dunia sering disuarakan mereka   melalui musik. Semangat ini masih aktif dan berkembang sampai sekarang.
 
 Lewat kelompok-kelompok musik tadi, ideologi politik punk sering diasosiasikan   dengan anarkisme. Seiring perkembangan, ideologi-ideologi lainnya seperti   pembebasan, kiri-liberal, sosialis, komunis-anarkis dan bahkan neo-Nazi,   begitu lekat dengan punk. Dan, di antara sekian banyak ideologi punk, yang   paling berbeda adalah ideologi neo-Nazi, karena sangat identik dengan   kekerasan dan fasisme. Ideologi neo-Nazi ini dipopulerkan oleh kelompok musik   seperti Skrewdriver, Ad Hominem, Aryan Terrorism, Bound for Glory,   Brigada NS, Jew Slaughter, Final Solution, White Law dan Infernum.   Mereka menjadi bagian dari kelompok anti komunis, yang dikenal sebagai   kelompok Nazi Punks dan Rock Against Communism,   kelompok-kelompok punk yang sangat nasionalistik dan anti komunis. Mereka   punya slogan “Punk’s Not Red”, sebuah permainan dari slogan “Punk’s Not   Dead”, yang memiliki hubungan kuat dengan Nazi Skinheads, kelompok fasis dan   rasis yang merupakan simbol kebangkitan kembali Nazisme anti-semit. Pada   1980an, kelompok-kelompok punk nasionalistik ini sering kali menyuarakan   protes atas otoritas Soviet yang anti-nasionalisme, patriotisme dan   jingoisme.
 
 Jika ideologi punk dalam fanzine diatas harus dikaitkan dengan kekerasan   agama, maka kita bisa merujuknya ke situasi politik dunia kontemporer. Pasca   peristiwa 11 September 2001,   hampir seluruh dunia mengalami demam kekerasan berlabelkan agama. Fasisme   keagamaan dianggap oleh sebagian orang sebagai konsekuensi dari perlakuan   tidak adil dunia barat terhadap dunia ketiga, khususnya dunia Islam.   Bagaimanapun, aksi ini jelas menjadi tonggak baru peningkatan kekerasan dalam   agama. Meski demikian, radikalisme dan fundamentalisme keagamaan menjadi   fenomena umum di seluruh dunia dan tidak hanya terjadi di dunia Timur,   terutama Islam, melainkan juga terjadi di dunia Barat-Kristen.
   Merujuk Karen Armstrong, banyak masyarakat barat yang dididik secara   rasional, yang tidak dipersiapkan bagi ritual mistis dan mitis, ternyata   ingin kembali kepada nilai-nilai transenden di masa lampau. Untuk kembali ke   masa lampau adalah tidak mungkin, maka satu-satunya cara adalah menghidupkan   nilai-nilai lama ke masa sekar
  ang, yaitu dengan melakukan ritual dan   tindakan-tindakan menolak berbagai hal yang bertentangan dengan keyakinan.   Kekerasan menjadi pilihan utamanya. Armstrong lalu menunjukkan perkembangan   gerakan radikalisme dan fundamentalisme di dunia Kristen-Barat. Setelah itu,   ia kemudian memusatkan perhatian ke dunia agama-agama Timur seperti Islam dan   Yahudi. Menurutnya, peningkatan radikalisasi dan bahkan fundamentalisasi   tidak hanya terjadi di dunia Islam dengan ideologi jihad yang dimilikinya,   melainkan juga di kalangan Yahudi. Dengan basis ideologi yang sama-sama   mengusung kekerasan itu, Islam dan Yahudi selalu terlibat pertikaian sampai   sekarang. 
 Kecenderungan kekerasan ini pada gilirannya juga tidak bisa dilepaskan dengan   meningkatnya gejala kebangkitan agama mulai dari Kristen, Yahudi, Islam,   Hindu, Shintoisme dan lain-lain. Peningkatan fundamentalisme, menurut   Armstrong, merupakan konsekuensi dari sebuah keyakinan penuh gejolak untuk   berjuang demi kelangsungan hidup di dunia yang tidak ramah. Dan wajar saja,   jika peningkatan fundamentalisme dalam agama-agama dunia ini meningkatkan   juga skala kekerasan. Aksi kekerasan meningkat disebabkan semakin banyaknya   orang yang berniat terlalu keras untuk memahami agamanya, kata Mark   Juergensmeyer. Ia bahkan menegaskan, semakin orang berniat keras untuk   memahami agamanya maka semakin radikal pula tindakannya.
 
 Bilal dan Kritik Atas Fasisme Agama
 
 Lalu, bagaimana membayangkan Bilal dengan citraan kekerasan dari   suatu agama tertentu? Bagi saya, Bilal menjadi tanggapan unik atas   peningkatan kekerasan yang dilakukan oleh pengikut agama Islam. Bila anak   punk dalam gambar dikaitkan dengan ideologi neo-Nazi, kita akan menemukan   bahwa karya ini merupakan kritik terhadap fasisme dan kekerasan yang   dilakukan atas nama agama. Karena yang disuarakannya azan, maka karya video   ini mengusung label khas dari agama Islam, yang sejak peristiwa terorisme 11   September 2001 menjadi sorotan untuk berbagai tindak kekerasan   mengatasnamakan agama di seluruh dunia.
 
 Pada awalnya, punk merupakan gerakan pemberontakan terhadap sistem. Sebuah   ideologi yang mengusung tema kebebasan di dalamnya. Namun, ketika punk   dimasuki oleh kelompok-kelompok fasis, aura kebebasan yang diusungnya pun   serta merta melesat ke udara. Bilal dalam citraan punk menjadi sebuah dilema   antara ideologi kebebasan dan fasisme yang melekat pada gerakan-gerakannya.   Punk dalam fanzine ini menjadi sebuah kritik atas bentuk-bentuk   kekerasan berlandaskan agama. Label-label kekerasan itu dikonstruksi   sedemikian rupa dalam karya video ini, sehingga menghasilkan suatu kondensasi   realitas dalam bentuk yang paling halus. Untuk menemukan citraan implisit   yang dikandung karya video ini, kita tidak bisa melihat dengan sekilas   pandang saja. Saat pertama membaca karya ini, kesan pertama adalah kesegaran   dan gelak tawa karena kita berpikir bahwa hal seperti yang dilakukan dalam fanzine   Bilal merupakan sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ketika   memperhatikan lebih lanjut, saya berpikir bahwa sang penulis cukup cermat   dalam mengamati situasi dan kondisi politik dunia kontemporer. Ya, fakta   memang tidak harus diungkapkan dalam bahasa verbal, sehingga kita tidak   terjebak pada sebuah ‘kebenaran telanjang’ (bare truth). Untuk hal   ini, saya pikir punkers, sadar atau tidak, berhasil melakukannya. Melalui Bilal,   seorang Punkers berhasil menerapkan kritik jenius terhadap situasi politik   dunia kontemporer yang dipenuhi oleh berbagai aksi kekerasan mengatasnamakan   agama.
 Ditulis oleh Mirza Jaka Suryana    OS_KRC   Cheerz,cheerz and cheerz……………………. | 
 
1 outsiders:
bagus nih artikel
Posting Komentar
We Are the outSIDers